Minggu, 28 Desember 2014

Cinta ditolak, jadi homo?




Pementasan ketoprak yang dilaksanakan dua hari secara berturut-turut kemarin (17-18 Desember 2014) yang bertemakan “Ketoprak Gaul” ini diselenggarakan oleh mahasiswa jurusan bahasa dan sastra jawa angkatan 2012 guna melengkapi ujian akhir semester matakuliah kajian drama tradisional yang diampu oleh Bapak Sucipto Hadi Purnomo ini terselenggara dengan begitu ramai dengan banyaknya penonton yang menghadiri pementasan tersebut.
Gedung B6 yang digunakan sebagai tempat pementasan dipenuhi oleh para mahasiswa ya g ingin melihat pementasan ketoprak tersebut. Pengunjung tidak hanya dari mahasiswa fakultas bahasa dan seni saja terkhusus jurusan bahasa dan sastra jawa itu sendiri melainkan mahasiswa dari fakultas lainpun menonton pementasan ketoprak tersebut. Itu terlihat dari banyaknya penonton dan presensi penonton.
Dalam pemetasan ketoprak gaul ini ada enam lakon pementasan. pada hari pertama pementasan ada tiga lakon ketoprak yang akan dipentaskan. Yang pertama dengan lakon Hardaning Asmara yang mengisahkan tentang kisah cinta raden Inu Kertapati dengan Candra  Kirana. Lakon yang kedua yaitu, Jangkeping Katresnan yang mengisahkan tentang asal mula candi prambanan atau juga yang terkenal dengan candi Roro Jonggrang. dan yang terakhir yaitu dengan lakon Tampik yang mengisahkan tentang lahirnya Reog Ponorogo. Pada hari kedua pementasan, yaitu dengan lakon Ronda Gairah yang mengisahkan tentang Calon Arang, lakon kedua yaitu Sritanjung, gondho Arum kasetyan, kisah kesetiaan cinta Sritanjung terhadap Patih Sido Pekso dan yang terakhir adalah lakon Brubuh Wanabaya.
Tampik
Tampik adalah lakon yang dipentaskan oleh kelompok ketoprak Kluwung Suwung rombel satu, yang di sutradarai oleh mbak Indri. Mereka bermain di atas panggung gedung B6 menjadi pementas terakhir pada hari pertama pertunjukan.
Lakon Tampik berkisah tentang seorang putri dari Kediri yang bernama Dewi Sanggalangit putra Raja Kertajaya yang belum ingin menikah. Pada suatu hari, Dewi Sanggalangit ditanya olenh kedua orang tuanya mengenai kapan ia akan menikah. Dewi sanggalangit menjawab ia akan menikah jika persyaratannya terpenuhi, yaitu berupa prajurit atau nayaka penunggang kuda yang berjumlah 140, kesenian baru yang belum pernah dipentaskan dengan iringan gamelan, dan yang terakhir yaitu hewan berkepala dua yang masih hidup. Kemudian Raja Kertajaya mengumumkan sayembara tersebut.
Singkat cerita, raden Kelono Sewandono yang dahulu pernah melamar Dewi Sanggalangit  akan tetapi ditolak, kini ia berhasil memenuhi semua syarat yang diajukan oleh Dewi Sanggalangit sebagai syarat menjadi suaminya. Kelono Sewandono pergi ke Kedhiri untuk menyerahkan semua persyaratan tersebut. Namun apa yang terjadi, Kelono Sewandono ditolak oleh Dewi Sanggalangit untuk yang kedua kalinya. Kelono Sewandono marah dan mengobrak-abrik Kedhiri karena penolakan tersebut.
Pemilihan judul atau lakon tampik jika dalam bahasa Indonesia memiliki arti penolakan cinta ini akan ramai dengan adegan kisah cinta, perang maupun dagelannya.
Kelompok ketoprak Kluwung Suwung ini  mengemas pementasannya dengan begitu apik dan menarik. pada gebrakan pertama, saat narator membacakan sinopsis cerita, dipanggung yang bersettingkan kerajaan Kedhiri berdiri Kelono Sewandono lengkap dengan topeng dan pecutnya, serta reog dan dan patihnya dengan menggunakan topengnya berdiri bersebelahan. Pembacaan sinopsis yang di iringi dengan tabuhan gamelan dan adegan pembuka dengan tatanan cahaya lampu yang menarik ini, membuat perhatian semua penonton hanya tertuju pada panggung.
Adegan sesungguhnya dimulai setelah sinopsis selesai dibacakan dan adegan pertama dimulai dengan tari gambyong yang ditarikan oleh Dewi Sanggalangit dan kedua embannya. Kemudian datanglah Raja Kertajaya bersama istrinya menemui Dewi Sanggalangit, dan tarian itupun selesai. Kemudian Raja Kertajaya bertanya kepada anaknya perihal keinginan anaknya untuk menikah. Dewi Sanggalangit ingin menikah akan tetapi calon suaminya harus memenuhi syarat yang ia peroleh dari pertapaannya kepada Batara Narada selama 38 hari, yaitu berupa prajurit atau nayaka penunggang kuda yang berjumlah 140, kesenian baru yang belum pernah dipentaskan dengan iringan gamelan, dan yang terakhir yaitu hewan berkepala dua yang masih hidup. Kemudian Raja Kertajaya mengumumkan sayembara tersebut.
Adegan kedua berlanjut pada setting  Kedhatonan Bantarangin. Disitu, Bujang Kanong datang secara tiba-tiba dan marah terhadap para warok (yang diperankan oleh parempuan) yang kerjaanya hanya bermain kartu. Pada saat adegan ini Bujang Kanong berkata, E, e e, ngene iki ya pegaweyane wong-wong sing disembadani uripe karo negara? Bubar! Bubar! Padha ora ngerti gaweyan. Yen nyambut gawe wayah jam dhines ki ya sing tenanan.­(E,e,e, begini tho, pekerjaannya orang-orang yang dibiayai oleh negara? Bubar! Bubar! Tidak tahu pekerjaan. Saat bekerja dijam dinas ya yang beneran.) Jika diperhatikan, kata- kta tersebut merupakan sindiran bagi para pejabat dan para pegawai yang bermalas-malasan. Pekerjaannya hanyalah bersenang-senang saja, tidak mau menjalankan kewajibannya. Kemudian mereka membicarakan rajanya, Kelono Sewandono mengenai prilakunya yang menyimpang, suka terhadap sesama jenis. Kelono Sewandono datang, dan merayu Bujang Ganong. Pada saat adegan ini, biasaanya disebut adegan gandrung atau percintaan. Saat adegan ini semua penonton tertawa dan merasa geli. Karena pada lazimnya adegan gandrung dilakukan seorang priya dan perempuan. Namun pala lakon tampik ini adegan gandrung diadegankan oleh Kelono Swandono dan Bujang Kanong yang sama- sama lelaki. Adegan gandrung ini membuat semua penonton berteriak geli, apalagi saat adegan ciuman atau seperti berciuman, semua penonton bersorak – sorai. Ini dikarenakan Kelono Sewandono memiliki kepribadian menyukai sesama jenis atau sekarang ini biasanya disebut homo.
            Pada adegan selanjutnya Bujang Kanong merayu Kelono Sewandono untuk mengikuti sayembara yang diadakan oleh Dewi Sanggalangit. Pada saat merayu, Bujang Kanong bertingkah seperti rajanya ketika ia berada di belakang rajanya membuat gelak tawa penonton menyeruai. Akhirnya, Kelono Sewandono menjyetujui Bujang Kanong dan ia menyuruh patihnya, Bujang Kanong untuk mencari semua persyaratan sayembara tersebut.
            Di kediri Raja Kertaja meminta bantuan terhadap Singgo Barong untuk menggagalkan Kelono Sewandono.
            Adegan selanjutnya yaitu adegan guyon atau dagelan. Adegan ini begitu ditunggu-tunggu oleh para penonton. Adegan ini memang biasanya berbau saru,  tetapi itulah yang membuat gelak tawa penonton. Seperti saat Singo barong memimpin do’a yang diplesetkan.
            Adegan yang sesungguhnya kemudian dilanjutkan kembali saat Singo Barong ke Bantarangin menantang Kelono Sewandono. Di sini adegan perang dikemas dengan guyonan. Ada adegan perang yang diperlambat yang seaakan – akan gerakannya begitu lambat. Kemudian dilanjutkan lagi dengan adegan serius. Ini diadakan supaya penonton tidak terlalu sepaneng dalam menonton.
            Saat perang tanding ini Singo Barong kalah dan memanggil temannya burung merak. Saat merak dan singo barong dipecut, mereka berubah menjadi hewan berkepala dua dengan disertai kumpul asap yang pekat.
Kemudian hewan berkepala dua tersebut jinak terhadap Kelono Sewandono dan diberinama Reog.
            Kelono Sewandono pergi ke Kediri dengan membawa semua persyaratan yang diajukan oleh Dewi Sanggalangit. Tetapi apa yang terjadi? Dewi Sanggalangit menghianati ucapannya dan menampik Kelono Sewandono sebagai suaminya. Dewi Sanggalangit lari kedalam kedaton dan Kelono Sewandono kemudian marah dan menghancurkan Kediri. Penghancuran Kediri digambarkan dengan warok dan jatilan yang menari semaunya sendiri.
            Pertunjukan ketoprak dengan lakon Tampik ini dibuka dan ditutup begitu mengesankan. 

Nilai Estetik Bahasa dalam Kethoprak Bocah Lakon Jaka Kendhil



Lakon kethoprak yang berjudul Jaka Kendhil yang diperankan oleh anak-anak kecil ini diperagakan dengan begitu apik. Terkhusus dalam melakukan dialog antar tokohnya. Di sini mereka memerankan peran masing – masing tokoh ketika saat berdialog begitu bagus dan terkesan natural. Bahasa yang digunakan begitu sederhana tetapi tidak mengurangi estetika kualitas suatu pertunjukan kethoprak. Akting bocah – bocah ini tidak kalah dengan akting orang dewasa.
Lakon Jaka Kendil menceritakan tentang seorang anak raja yang terlahir cacat karena akibat keusilan seseorang. Ia bersama ibunya terusir dari istana tersebut. Karena dia berbadan pendek dia diberi nama Jaka Kendil. Ketika Jaka Kendil menginjak dewasa, dia suka terhadap salah satu anak raja dan meminta ibunya untuk di lamarkan. Ketika jaka kendil dan ibunya pergi melamar, mereka sempat mendapatkan penolakan dari anak-anak raja dari medang kamulan. Tetapi ada salah satu putri raja menerima Jaka Kendil sebagai takdirnya. Akhirnya Jaka Kendil menikah dengan salah satu putri raja dari medang kamulan tersebut.
Di dalam percakapan dialog antar tokoh kethoprak Jaka Kendhil kita bisa mendapati beberapa tembung estetis seperti, tembung garba, paribasan, bebasan, saloka dan lain sebagainya.
Pada percakapan antara prabu dan senopatinya yang membahas tentang  perburuannya dihutan, disitu berburu dikatakan dengan “bedah pikat pados buron wana.” Tembung ini disebut dengan tembung.
Terdapat juga tembung purwakanthi guru sastra yaitu pada dialog “Cikat cakut trengginas.” Tembung “Ancur tak gawe kalang/galang abang yaitu tembung purwakanthi swara.  Tembung “Mati giling abang” merupakan salah satu tembung entar yang ada di dalam percakapan kethoprak bocah tersebut. Terdapat juga tembung – tembung dasanama seperti, atmaja (anak), sinuhun (raja), prameswari (permaisuri). Seperti juga dalam menyebut nama Tuhan ada pemilihan kata seperti “Gusti Kang Akarya Jagad”.
Ketika sang senopati menyatakan cintanya terhadap keponakannya disana ia mengungkapkannya dengan kata “Medar rasa ati” yang masuk kedalam tembung
Ada juga tembung “Getun kedhuwung” yang masuk kedalam tembung
Didalam percakapan atau dialog antar tokoh pada lakon kethoprak Jaka Kendhil ini menggunakan bahasa yang sederhana namun tidak mengurangi nilai suatu petunjukan kethoprak tersebut.

TATACARA TRADISI SEDEKAH LAUT DI DESA DUKUHSETI KAB. PATI




Tradisi sedekah laut biasanya dilaksanakan oleh masyarakat yang sebagian besar mata pencaharianya itu berada di laut, pantai atau yang bergantung pada laut. Tradisi  sedekah laut dilaksanakan satu tahun sekali setiap tanggal sepuluh Suro. Tradisi sedekah laut merupakan bentuk rasa syukur masyarakat setempat terhadap ALLAH SWT yang telah melimpahkan rizkinya melalui kekayaan laut yang luar biasa.
Sebelum acara dimulai biasanya pada malam harinya diadakan yang namanya melekan.  Melekan atau begadang biasanya diisi dengan membuat kapal – kapalan untuk tempat sesaji serta membunyikan atau menabuh musik pencik yang terdiri dari kendang, kempul dan gong kecil.
Adapun uborampe  atau sesaji yang digunakan dalam acara tersebut adalah:
1.      Bubur merah putih
2.      Kelapa muda
3.      Kepala kambing
4.      Bekakak
5.      Arang-arang kambang
6.      Ketela bakar
7.      Pisang raja setangkep
8.      Kembang boreh
9.      Rokok kobot
1  Benang lawe
1Sate kambing
Kaki kambing
1Sega Buceng
1Sisir
1Lauk pauk berupa sayuran
Setela semua sesaji sudah siap ditaruh didalam miniatur perahu, saatnya miniatur perahu tersebut diarak menuju pantai dengan diiringi musik pencik tersebut. Sesampainya di pantai mbah modin atau orang yang dituakan menyembelih kambing untuk diambil kepala dan kakinya (degil) untuk dijadikan sesaji. Kaming yang disembelih tersebut dikuliti diambil kepala dan kakinya. Dagingnya dimasak untuk dimakan bersama. Setelah semuanya sudah lengkap dan dido’akan miniatur perahu tersebut diarak munuju ketengah lautan untuk dilarung.
Setelah sampai ditengah laut semua kapal emutar mengitari pperahu tersebut dan menyirap perahu masih – masing untuk ngalap berkah dari laut yang telah memberikan berkah yang begitu luar biasa. Setelah itu semua perahu menepi untuk makan bersama.
Pada malam harinya diadakan hiburan yang biasanya berupa dangdut atau ketoprak. Setelah itu esok harinya diadakan wanakiban atau kondangan.

Jumat, 19 Desember 2014

Selametan Kematian

Berikut ini adalah macam-macam ritual atau selametan yang sering dilakukan pada acara kematian :
1. Geblag atau selamatan setelah penguburan
Geblag atau biasanya disebut ngesur tanah merupakan upacara yang diselenggarakan pada saat hari meninggalnya seseorang. Upacara ini diselenggarakan pada sore hari setelah jenazah dikuburkan. Istilah sur tanah atau ngesur tanah berarti menggeser tanah (membuat lubang untuk penguburan mayat). Makna sur tanah adalah memindahkan alam fana ke alam baka dan wadag semula yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah juga.
2. Nelung dina atau selamatan setelah tiga hari kematian
Selametan tiga hari disebut juga mitung dino. Pelaksanakan selamatan biasanya dilakukan malam hari menjelang hari dan pasaran ke tiga. Selamatan nelung dinadimaksudkan sebagai upaya ahli waris untuk penghormatan kepada roh orang yang meninggal. Dalam kaitan ini orang Jawa berkeyakinan bahwa roh orang yang meninggal masih berada di dalam rumah. Namun roh tersebut sudah tidak berada di tempat tidur lagi. Roh sudah mulai berkeliaran untuk mencari jalan agar dengan mudah meninggalkan rumah dan anggota keluargannya.
3. Mitung dina atau selamatan setelah tujuh hari kematian
Selametan tujuh hari kematian hari disebut juga mitung dino. Selamatan mitung dina dimaksudkan untuk penghormatan terhadap roh. Setelah tujuh hari roh mulai keluar dari rumah. ltulah sebabnya seeara simbolis ahli waris membukakan genting atau jendela agar sebelum selamatan dimulai agar roh orang yang meninggal dapat keluar dengan lancar dari rumah. Roh yang sudah keluar dari rumah akan berhenti sejenak di pekarangan atau berada di halaman sekitar. Untuk mempermudah perjalanan roh meninggalkan pekarangan ahli waris membantu dengan acara selamatan tahlilan, dan mendoakan. Tahlil dilaksanakan selama 7 malam yang berupa bancakan (waosan kalimah tayibah). Kata tahlil berasal dari kata Arab halala yang berarti membaca kalimat "lAailaha illallah" dengan tujuan mendoakan agar dosa orang yang meninggal diampuni. Pada malam terakhir, pembacaan tahlil ditutup dan sekaligus selamatanmitung dina. Penutupan tahlil dimaksudkan juga sebagai syukuran atas selesainya tahlil.Karena itu peserta kenduri diberi sodaqoh berupa bancakan yang berisi nasi dan lauk pauknya. Kata bancakan kemungkinan berasal dari tempat tumpeng pungkur yang dibuat dari anyaman bambu secara renggang. Anyaman semacam ini disebut ancak.Perkembangan selanjutnya berubah menjadi kata bancak.

4. Matangpuluh dina atau selamatan setelah 40 hari kematian
Tradisi selamatan matangpuluh dina dimaksudkan sebagai upaya untuk mempermudahperjalanan roh menuju ke alam kubur. Ahli waris membantu perjalanan itu dengan mengirim doa yaitu dengan bacaan tahlil dan selamatan. Dengan ubarampe selamatan yang bermacamacam itu dimaksudkan sebagai sajian kepada roh dan jasad. Jasad yang hams disempurnakan adalah berupa darah, daging, sungsum,jeroan (isi perut), kuku, rambut, tulang, dan otot (Bratawidjaja, 1993:136). Fungsi selamatan matangpuluh dina juga untuk member penghonnatan kepada roh orang yang meninggal yang sudah mulai keluar dari pekarangan (sanjabaning wangon) dan akan menuju ke alam kubur. Pada saat ini roh sudah mulai bergerak sedikit demi sedikit menuju alamkubur. Roh mulai mencari jalan yang lurus dan bersih yaitu jalan mana yang ketikapemberangkatan jenazah sudah disapu. Jika jalannya sudah bersih maka tidak akan ada aral melintang untuk menuju alam kubur. Fungsi selamatan ini sesuai dengan esensi selamatan yang sebenarnya yaitu sebagai upaya pemujaan pada roh orang yang meninggal.
5. Nyatus dina atau selamatan setelah 100 hari kematian
Tradisi selamatan nyatus dina dimaksudkan untuk menyempumakan semua hal yang bersifat badan wadhag. Di alam kubur ini, roh masih sering kembali ke dalam keluarga sampai upacara selamatan tahun pertama (mendhak pisan) dan peringatan tahun kedua(mendhakpindho). Ubarampe selamatan nyatus dina sarna dengan sajian selamatan nelungdina mitung dina, matangpuluh dina. Perbedaannya pada selamatan nyatus dina sudah menggunakan pasung, ketan, dan kolak. Pasung yang dibuat seperti gunung (payung) dari daoo nangka dan diisi bahan dari gandum. Maknanya adalah agar yang meninggal mendapatkanpayung (perlindoogan). Karena orang yang meninggal akan melewati jalan panjang dan panas, maka untuk dia dibuatkan ketan sebagai alas (lemek) agar kakinya tidak panas. Ketan juga bermakna raketan artinya mendekatankan diri kepada Tuhan. Sajian juga dilengkapi kolak yang berasal dari kata khalik atau kolaq (pencipta). Dengan sajian semacam ini, diharapkan orang yang meninggal akan dengan lancar menghadap Sang Khalik. Penafsiran semacam itu menoojukkan bahwa ada perpaduan antara Hindu-Jawa dengan Islam yang pada prinsipnya orang Jawa mempunyai dambaan untuk kembali kepada Tuhan dalam keadaan tata titi tentrem (tenang).
6. Mendhak sepisan atau selamatan setelah satu tahun kematian
Upacara mendhak pisan merupakan upacara yang diselenggarakan ketika orang meninggal pada setahun pertama. Tata cara dan bahan yang diigunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan seratus hari.
Fungsi selamatan ini adalah untuk untuk mengingat-ingat kembali akan jasa-jasa orang yang telah meninggal. Ahli waris pada selamatan ini harus mengingat kebesaran almarhum-almarhumah. Karena itu selamatan mendhak pisan (nyetauni) sering disebut juga meling. Kata meling berasal dari kata eling artinya mengingatingat. Konsep mengingat-ingat juga terkandung pesan yang lain, yaitu sebagai upaya ahli waris untuk instrospeksi diri bahwa mereka pada saatnya juga akan dipanggil oleh Tuhan. Dengan cara ini mereka akan lebih berhati-hati dalam hidup dan akan meningkatkan amal perbuatan. Kecuai itu, mereka juga akan lebih yakin bahwa kematian adalah peristiwa khusus.
7. Mendhak pindho atau selamatan setelah dua tahun kematian
Selamatan mendhak pindho dimaksudkan untuk menyempumakan semua kulit, darah dan semacamnya. Pada saat ini jenasah sudah haneur luluh, tinggal tulang saja). Pada saat ini juga dilakukan pengiriman doa dengan eara tahlil dan sajian selamatan.. Tradisi selamatan kematian sangat mungkin merupakan hasil akumulasi kepereayaan masyarakat Jawa dengan kepercayaan lain, seperti adanya pengaruh Hindu, Buda, dan Islam. Akibat dari pembauran kepereayaan ini dinamakan sinkretisme Jawa. bahwa di Jawa sering teIjadi manifestasi Islam sinkretik dalam arti, umpamanya, kepercayaan dan ritualritual Jawa tetap dipertahankan sebagai ritual Islam setempat. Hasil sinkretik itu telah mewarnai kehidupan masyarakat Jawa sehingga hampir sulit dipisahkan antara kepereayaan asli dan kepercayaan yang mempengaruhinya.
8. Nyewu atau selamatan sete1ah seribu hari kematian
Nyewu boleh dikatakan sebagai puncak dari rangkaian selamatan kematian. Pada saat ini orang Jawa meyakini bahwa roh manusia yang meninggal sudah tidak akan kembali ke tengah-tengah keluarganya lagi. Roh tersebut betul-betul telah akan meninggalkan keluarga untuk menghadap Tuhan. Itulah sebabnya selamatan pada saat ini dilaksanakan lebih besar dibanding selamatan sebelumnya. Karena itu untuk pembacaankalima tayibah (tahlil) pun peserta yang diundang juga jauh lebih banyak. Jika sebelumnya tidak memakai makanan sesudah tahlil, biasanya selamatan nyewu memakai makan bersama. Setelah makan bersama lalu dilaksanakan kenduri.

Pelaku Pada acara Selametan Kematian
Pelaksanaan tahlilan diawali oleh pihak keluarga di mayat dengan mengundang tetangga dan sanak familinya atau orang terdekat, ulama’ dan para kyai secara lisan untuk menghadiri acara itu yang akan diselenggarakan di rumah duka. Acara tahlilan baru dimulai apabila para undangan sudah banyak yang datang dan dianggap cukup. Yang perlu untuk diketahui adalah bahwa kadang-kadang orang yang tidak diundangpun turut menghadiri acara tahlilan, sebagai ekspresi penyampaian rasa ikut berduka. Acara tahlilan, sebagaimana acara-acara lain, dimulai dengan pembukaan dan diakhiri dengan pembagian makanan kepada para hadirin. Kaitannya dengan masalah makanan dalam acara tersebut, kadang-kadang pihak keluarga si mayat ada yang menyajikannya sampai dua kali, yaitu untuk disantap bersama di rumah tempat mereka berkumpul dan untuk dibawa pulang ke rumah masing- masing, yang disebut dengan istilah “berkat” (berasal dari bahasa Arab) barakah. Proses berjalannya acara yang sudah menjadi adat kebiasaan, dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat, kalau bukan seorang ulama atau ustad yang sengaja disiapkan oleh tuan rumah. Dalam acara selamatan kematian masyarakat pada umumnya melakukan pembacaan tahlil dan Al- Qur’an serta pembacaan do’a-do’a bersama yang khusus ditujukan pada orang yang meninggal sesuai dengan hari waktu dan meninggal. Tidak hanya itu, karena ritual tahlilan ini juga diisi dengan tawasul-tawasul kepada Nabi, sahabat dan para wali serta juga keluarganya yang telah meninggal.

Adapun pelaku pada acara saat pemakaman adalah sebagai berikut :
1) Peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah upacara doa kematian selesai.
2) Anak laki-laki tertua, anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan, berjalan berurutan melewati peti mati yang berada di atas mereka (mrobos) selama tiga kali dan searah jarum jam.
3) Urutan selalu diawali dari anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada di urutan pertama; anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.
Setelah itu jenazah diberangkatkan dengan keranda yang diangkat oleh anak-anaknya yang sudah dewasa bersama dengan anggota keluarga pria lainnya, sedangkan seorang memegang payung untuk menaungi bagian dimana kepala jenazah berada. Adapun urutan untuk melakukan perjalanan ke pemakaman juga diatur. Yang berada diurutan paling depan adalah penabur sawur (terdiri dari beras kuning dan mata uang), kemudian penabur bunga dan pembawa bunga, pembawa kendi, pembawa foto jenazah, keranda jenazah, barulah dibagian paling belakang adalah keluarga maupun kerabat yang turut menghantarkan. Namun dalam keyakinan orang Jawa, seorang wanita tidak diperkenankan untuk memasuki area pemakaman. Jadi mereka hanya boleh menghantarkan sampai didepan pintu pemakaman saja. Dan mereka yang masuk hanyalah kaum pria tanpa memakai alas kaki.
Percakapan Obrolan Berakhir