1.
IKHTISAR
BHOMĀNTAKA
Dalam buku
Kalangwan, Bab Bhomāntaka, menceritakan tentang kematian Raja Bhoma. Nama asli
Bhoma adalah Naraka, ia dilahirkan akibat senggama antara Dewi Bumi dengan
Wisnu. Itulah sebabnya ia dinamakan Bhoma yang artinya Putra Bumi. Bhoma diberi
kekuatan yang tak terkalahkan oleh Brahmā, dengan kekuatan tersebut ia gunakan
untuk menyerang para dewa.
Para rsi memohon
kepada Krsna agar segera membantu para pertapa di pegunungan Himalaya. Mereka sangat
menderita akibat serangan yang dilakukan oleh gerombolan-gerombolan raksasa.
Mendengar permohonan tersebut, Krsna terharu dan berjanji akan mengutus
putranya sendiri, Samba. Dengan rasa puas para rsi kembali ke surga.
Dengan patihnya,
Uddhawa, Krsna memperbincangkan tindakan-tindakan yang harus diambil, lalu
memanggil Samba. Krsna tahu bahwa tugas yang diberikan kepada anaknya adalah
berat, tapi ia yakin bahwa Samba tidak akan mengecewakan ayahnya dan Samba
adalah sosok anak yang dapat dibanggakan. Tanpa membangkang Samba mengundurkan
diri dari bangsal agung dan mohon diri pada ibunya, Jambawati. Semula sang ibu
tidak menyetujuinya dan menyalahkan raja, tapi akhirnya ia menyerah kepada
tekad putranya yang telah memutuskan untuk membuktikan bahwa ia sungguh seorang
putra Krsna dan seorang ksatria sejati yang gagah perkasa.
Samba ditemani oleh
Prawala sebagai pendampingnya yang paling setia dan pembawa kotak sirihnya,
oleh Sahaja sebagai juru dyah (semacam kepala pelayan), dan sekitar lima
puluh prajurit. Kemudian mereka
berangkat. Ketika mereka mendekati pegunungan Himalaya, seluruh daerah ternyata
berantakan. Segera para raksasa muncul untuk menghancurkan para musuh di daerah
yang mereka anggap sebagai wilayah mereka sendiri. Tetapi mereka berhasil dikalahkan
oleh pasukan Samba dengan membunuh pemimpin mereka.
Atas undangan Ki
Wiswamitra, seorang rajasti (seorang yang bijak berdarah ningrat) yang memimpin
sebuah komunitas religius, Samba melepaskan lelah disana suatu hari Samba
dengan seorang murid Wiswamitra yang bernama Gunadewa sampai pada sebuah
pertapaan yang sejak lama tak dihuni dan tak terpelihara lagi. Sahabatnya
menceritakan riwayat pertapaan itu yang didirikan oleh putra Wisnu, Dharmadewa
yang tinggal disana bersama kekasihnya, Yajnawati. Sebelum Gunadewa selesai
bercerita, tiba-tiba Samba pingsan karena terharu, tiba-tiba ia ingat pernah
bernama Dharmadewa dalam kehidupannya dahulu dan bahwa ia mengikuti ayahnya
Wisnu ketika ia turun ke Bumi dan menjelma dalam diri Krsna. Ia merasa sedih
karena sadar betapa tindakannya telah menyakiti hati Yajnawati. Disana ia
bertemu seorang perempuan yang ia kenal sebagai Dewawadhi (semacam bidadari)
bernama Tilottama, teman Yajnawati dahulu. Tilottama menceritakan bahwa
Yajnawati telah datang ke Bumi sebagai putri raja daerah utara (Uttanagara).
Ayahnya dibunuh oleh Bhoma dan ibunya menyusul ke alam baka, kini Yajnawati
dijadikan anak angkat oleh Raja Bhoma. Tilottama menawarkan jasa kepada Samba
untuk mengantarnya bertemu dengan Yajnawati.
Setelah Samba bertemu
dengan Yajnawati, datanglah Daruki membawa peringatan dari para rsi supaya
segera memboyong sang putri dan jangan tinggal terlalu lama di wilayah para
musuh. Tetapi terlambat. Para musuh telah mengetahui keberadaan Samba. Pada
saat peperangan dimulai, Yajnawati diculik oleh para abdi Bhoma kemudian
melarikannya ke kediaman raja, yaitu Prayagyotisa. Setelah peperangan selesai
dengan kemenangan Samba ia mendengar bahwa putri telah diculik oleh para abdi
Bhoma. Ketika Samba ingin mengejar sang putri, ia dicegat oleh Narada agar
kembali ke Dwarati terlebih dahulu.
Setelah kepulangan
Samba, Krsna merasa ada sesuatu yang salah pada diri anaknya. Kemudian ia
memanggil Daruki untuk menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya dan kemudian
mengadakan rapat, saat rapat dimulai datanglah Citraratha utusan dari kahyangan
ingin meminta bantuan kepada Krisna bahwa kahyangan ingin diserang oleh Raja
Bhoma. Krsna berjanji akan membantunya, dan di waktu yang sama Krsna menyusun
siasat untuk menyerang Kerajaan Bhoma.
Tentara para Yadu
disiapkan, para panglima ditunjuk, di antara mereka juga terdapat Samba, dan
pada hari ketiga mereka berangkat. Ketika mereka sampai di kediaman Bhoma yang
praktis kosong, tidak dijaga oleh pasukan-pasukan Bhoma. Yajnawati mengutus
Puspawati, abdinya, membawa sepucuk surat untuk Samba. Para Yadu mulai
menyerang. Rupanya tentara musuh masih cukup kuat untuk melangsungkan
pertempuran seperti biasa. Pada akhirnya pasukan Samba berhasil mengalahkan
pasukan Bhoma dan dapat memasuki kediaman Bhoma serta berhasil membawa pergi
Yajnawati.
Dalam perjalanan
pulang mereka melintasi negara Magnada, wilayah kekuasaan Raja Jarasandha,
musuh utama Krsna. Oleh karena itu mereka harus berhati-hati, karena kelelahan
akibat peperangan mereka bermalam disana. Kesempatan itu digunakan oleh
Jarasanda untuk menyerang mereka. Samba dan Yajnawati melarikan diri dengan
menaiki kereta. Akan tetapi tangan Samba terkena panah sehingga tidak dapat
mengendalikan kereta tersebut, mereka terguling-guling dan keduanya jatuh pingsan. Mereka ditolong oleh seorang petapa.
Akhirnya Daruki menemukan tempat persembunyian mereka, dan menceritakan apa
yang terjadi. Para Yadhu dapat mengalahkan Raja Jarasanda dan berhasil
menangkap putranya. Mereka mohon diri kepada tuan rumah dan kembali ke
Dwarawati.
Druma, Raja
Kimpurusa, yang dikalahkan yang dikalahkan oleh Bhoma mencari perlindungan
kepada Krsna. Krsna menyambutnya dengan segala kehormatan. Druma menceritakan
apa yang terjadi. Ia diserang oleh anak Kalayawana yang pernah dibakar habis-habis
oleh Mucukunda atas perintah Krsna. Karena anak Kalayawan itu mengalami
perlawanan yang tak terduga dari Druma, ia mencari sekutu di antara para raja
yang membantu Bhoma, yaitu: Jarasanda, raja Maghada, Sisupala, Raja Cedi, Karna
dari Anggawa dan Saturntapa dari Kalingga. Tetapi di pihak lain raja-raja yang
akan membantu Druma ialah Raja Bahlika, Raja Salya dari Mrada, Somadatta dan
Rukma. Tetapi yang terutama yang menjadi buah harapan Raja Druma ialah Krsna,
Raja Parayadu, Baladhewa dan Ugrasena. Mereka semua menjanjikan bantuan mereka.
Dengan segera
persiapan-persiapan diadakan, tetapi untuk menyembunyikan rencana mereka
terhadap musuh, mereka akan bertamasya dan membawa ikut serta para perempuan
dan anak-anak. Selain itu juga diadakan pesta besar tujuh hari. Sesudah itu
mereka semua pulang ke Dwarawati.
Bhoma membatalkan
serangannya terhadap para dewa, ia maraah sekali karena keratonnya dihancurkan
dan Yajnawati dilarikan. Raja Cedi mengusulkan agar mereka pada malam hari
dengan tak terduga menyerang Dwarawati. Jarasanda menganjurkan supaya mereka
berhati-hati. Semua rencana hendaknya dipikirkan dengan masak-masak dan
dibicarakan terlebih dahulu. Bhoma mengutus Saturntapa bersama Mahodara,
patihnya sendiri, akan menuju Dwarawati dan menuntut penyerahan tanpa syarat.
Akan tetapi para utusan gagal menjalankan misi.
Bhoma meluapkan angkara murkanya ketika para duta
melaporkan bahwa misi mereka gagal, lalu memerintahkan agar musuh dimusnahkan
secara tuntas. Sambil merampas dan merampok, tentaranya menuju Dwarawati.
Disana persiapan pertempuran telah diselesaikan. Wirada dan Drupada
mengggabungkan diri dengan para Yadu dan membawa pasukan tambahan. Ketika itu
para raja menyusun siasat saat penyerangan. Pada saat Krsna ingin pergi ke luar
kota ia didekati olehseorang pertapa tua. Krsna memperlakukan pertapa tua itu
dengan hormat, karena ia tahu bahwa jika pertapa itu akan cepat mengucapkan
suatu kutukan jikalu ia merasa masygul. Maka dengan penuh hormat ia
menyampaikan salam dan tidak memperlihankan keratin apapun. Ketika sang pertapa
memohon agarkrsna dan kakaknya mempersiapkan makanan baginya karena ia ingin
mengakhiri puasanya. Krsna memanggil Arjuna Rukma guna menyerahkan pimpinan
kepada mereka, kemudian kembali ke keraton.
Ketika mereka sampai di gunung Rewataka nampaklah
tentara musuh dan para Yadu menempati pola tempur yang dinamakan makara, bhoma merasa kecewa karena
Krsna tidak menyertai para Yadu. Pertempuran dimulai; Bāhlikan melawan
Hirananyabha, Drupada melawan Cedi, Somadatta melawan Karna dan Winda serta
Anuwinda melawan putera Kālayawana. Dalam kalangwan ini penulis hanya
melukiskan beberapa adegan saja. Suratha, putra Druma, dibunuh oleh Śiśupāla,
raja Cedi yang pada gilirannya ditewaskan oleh raja Basudewa yang tua itu,
tetapi kemudian Basudewa dan Druma bitewaskan oleh Karna; Karna dibunuh oleh
Sāmba dan Jāasandha oleh Gada.
Ketika sebagian besar sekutu telah tewas, Bhoma
memutuskan untuk mengambil bagian sendiri dalam pertempuran; bagi para Yadu
akibatnya sungguh dahsyat. Rukma dibunuh oleh Mahodar, Sāmba oleh Bhoma.
Pertempuran dahsyat antara antara para raja raksasa dan Arjuna; Bhoma terluka
sedikit, tetapi luka Arjuna lebih parah lalu ia meninggal. Para Yadu putus asa,
Krsna dan Baladewasegera menerima laporan. Kemudian Mahodara mencoba untuk
menyergap mereka dengan pasukannya, tetapi ia di ditewaskan oleh Baladewa.
Daruki memberitahukan kepada Krsna bahwa Bhoma telah bersumpah untuk
membunuhnya dan bahwa ia menerima sekuntum bunga ajaib dari ibunya, sang Dewi
Bumi, namanya Wijayamālā, dan bunga itu mempunyai kesaktian menghidupkan
kembali orang yang membawanya bila ditewaskan dalam pertempuran. Sesampainya di
perkemahan para Yadu, Krsna menangisi Arjuna. Durwasa menampakkan diridan
embiran suatu anugrah kepada Krsna, ia boleh mengajukan permohonan, agar salah
seorang dari mereka yang tewas , dihidupkan kembali. Krsna memilih Druma,
karena dia telah mencari perlidungan padanya, kemudian Durwasa meramalkan bahwa
ia akan menang.
Pertempuran berkorbar kembali dan mencapai puncaknya
ketika Krsna dan Bhoma berhadap muka, akhirnya Krsna menampakkan diri sebagai
Wisnu dalam wujud yang dahsyat. Berkepala seribudengan disertai burung garuda
raksasa. Bhoma pun mengenakan sebuah bentuk yang adikrodati yang sama besarnya,
kepala Bhoma dihantam oleh tiju Wisnu, sehingga mahkotanya jatuh. Kesempatan
ini dipergunakan Garuda untuk menyambarWijayamālā dan terbang pergi. Kemudian
kepala Bhoma dihancurkan oleh Wisnu.tubuhnya jatuh kedalam samudra, memasuki
pratala dan disana jatuh kedalam pangkuan ibunya. Kemudian Wisnu kemabli
mengenakan wujudnya sebagai Krsna. Sekali lagi Indra nampak untuk memberikan
sebuah anugrah, Krsna mohon agar semua yang tewas dalam peperangan dihidupkan
kembali, tidak hanya sanak saudaranya dan kaum kerabatnya, tetapi juga para
musuhnya, kecuali Bhoma.
Dalam kapustakan jawa, cerita Bhomanta digolongkan
kedalam mawi sekar. Disini , kisah Bhomantaka diceritakan secara singkat. Prabu
Krsna kedatangan rsi Narada, untuk menyirnakan Danawa, sekutu dari Bhoma. Samba
ditunjuk pergi bersama bala tentaranya. Ketika sampai di kaki gunung Himalaya,
perang dimulai.
Pada suatu hari Samba serada di salahsatu tempat
pertapaan yang sudah sepi dan rusak. Samba ingin mengetahui bagaimana
ceritanya. Yang ditunggu yaitu Putut Gunadewa, murid dari bagawan Wiswamitra.
Gunadewa menceritakan bahwa tempat tersebut adalah bekas tempat pertapaan Dharmadewa, putra dari batara Wisnu. Setelah
kematian Dharmadewa, istrinya yang bernama Yajnawati melanjutkan bertapa di
tempat tersebut, tetapi tidak lama kemudian Yajnawati mati memasukkan diri ke dalam
api. Kemudian, Samba teringat bahwa Dharmadewa pada waktu dahulu adalah dirinya
sendiri, kemudian ia merasa rindu kepada Yajnawati. Waktu samba terdiam
mengingat peristiwa tersebut, datanglah seorang bidadari bernama Tilottama
menceritakan bahwa Yajnawati sudah kemabali ke bumi menjadi putri raja di Utara-nagara, dengan nama Yajnawati. Namun,
ayah dan ibunya sudah meninggal, berawal dari ratu Danawa, nama sang Bhoma,
sang putri kemudian diangkat anak oleh Bhoma.
Samba kemudian diantar oleh Tilottama bertemu dengan
Yajnawati. Samba bertemu dengan sang putri di kedaton. Kemudian mereka
ketahuan, dan mulailah perang, dalam hiruk pikuk peperangan sang putri dibawa
oleh Bhoma ke keraton yang satunya lagi yaitu prajotisa.
Samba kembali ke kerajaan dengan kehilangan sang
putri, kemudian terdiam lagi, tidak lama sangNarada datang, sang Samba disuruh
untuk pulang ke Dwarawati.
Samba pulang, sakit. Prabu krsna melihat, menerima
laporan sakitnya sang putra, tenang saja. Tidak lama kemudian, ada dewa yang
datang umtuk meminta bantuan sebab prabu Bhoma sudah mendekat ingin menyerang
kahyangan. Prabu Kresna ikut dalam perang, Sang Bhoma meninggal, raganya jatuh
ke laut, Samba kemudian bisa bertemu dengan Yajnawati.
Serat Bhomantaka pada tahun 1852 di ceritakan ke dalam
tulisan jawa oleh DR FRIEDERICH. Sisanya di tulis ke dalam bahasa Belanda yang di buat oleh DR TEEUW; Proefschrift 1946.
2. HUBUNGANNYA
DENGAN SASTRA INDIA
Dengan 1492
baitnya Bhomantaka merupakan kakawin Jawa Timur yang terpanjang. Kita tidak
tahu bilamana kakawin ini ditulis oleh siapa. Kata pengantar merupakan pujian
terhadap dewa Manobhu, yaitu Kama yang menampakkan diri dalam segala bentuk
yang indah dan tercipta untuk merangsan para penyair. Sekaligus ia merupakan
Anangga, tanpa raga, didalm dunia yang kelihatan ini. Pada
buku kapusatakan jawa juga diterangkan bahwa tidak diketahui siapa yang membuat
serat Bhomantaka tidak jelas. Tetapi pada pembukaan berisi puji-pujian terhadap
batara Kamajaya seperti serat Smaradhana. Menurut DR VAN DER TUUK yang memiliki
pengertian mengenai kedua serat tersebut, bahwa serat Bhomantaka berbeda dengan
serat Smaradana. Bab berisi bahasa dan kikidungan.
Menurut consensus umum, karya ini di golongkan pada
karya-karya jaman Kediri. Pendapat ini didasarkan pada pertimbangan mengenai
bahasa, gaya dan cara temanya digarap. Pertimbangan-pertimbangan ini, bila
dipandang sendiri-sendiri, tidak begitu meyakinkan, tetapi bersama-sama
pertimbangan itu merupakan alasanyang cukup kuat, untuk mengesampingkan setiap
peride lain.
Dalam Hariwangsa
dikatakan (52.4) mengenai Samba bahwa ia “ menyebabkan kematian Bhoma oleh
tangan Kresna dalam kisah Yajnawati yang terkenal itu”. Dengan demikian akhir
pemerintah Jayabhaya dapat dipandang sebagai terminus ante quem (patokan sebelum itu terjadi) dan dengan
demikian Bhomantaka, bersama dengan Arjunawiwaha, pada urutan pertama dalam
daftar kronologis sastra kakawin Jawa Timu, asal kita merasa pasti, bahwa
dengan “kisah Yajnawati yang terkenal itu” kakawin kita inilah yang dimasukkan
kedalamnya. Cerita tersebut juga sudah dikenal oleh umum sebelum ditulis dalam
bentuk khas sebagai sebuah kakawin, “cerita Yajnawati” tidak dengan sendirinya
sama dengan kakawin “Bhomantaka”. Pertempuran melawan Bhoma juga disebut dalam Sutasoma (jaman majapahit)
Teks kakawin sendiri tidak menyebut judulnya. Dalam
kolofon (catatan penutup) berbagai naskah, kakawin ini dinamakan Bhomantaka (kematian Bhoma) dan dengan
judul ini kakawin tersebut dikenal dalam tradisi Jawa dan Bali. Maka dari itu
masuk akal, bahwa inilah cerita asli, bukannya Bhomakwaya akan tetapi dalam kapustakan jawa sering menyebutkan
istilah Bhomantaka dengan Bhomakwaya.
Serat
Bhomantaka pada tahun 1852 di ceritakan ke dalam tulisan jawa oleh DR
FRIEDERICH. Sisanya di tulis ke dalam bahasa Belanda yang di buat oleh DR TEEUW; Proefschrift
1946. Pada edisi R. Frederich banyak dipakai oleh sarjana-sarjana Barat.
Kebiasaan ini rupanya disebabkan, karena ia tidak dapat menerjemahkan suatu
bagian dalam kata pengantar: disana disebutkan mengenai adanya sebuah adaptasi
cerita Bhomakawya dalam puisi jawa. Jelaslah disini pengarang menunjukan sumber
kisahnya. Istilah kawya menyarankan kemungkinan pertama. Tak ada bukti, bahwa
istilah ini yang jarang dipakai kedalam bahasa jawa kuno, pernah digunakan
selain daripada menurut arti teknisnya.
Seperti pernah diterangkan Teeuw dalam kata pengantar
bagi terjemahan mengenai kakawin ini, bagi mereka yang meneliti hubungan
kakawin ini dengan sumber-sumbr India, persoalan-persolan yang belum dipecahkan
cukup banyak jumlahnya.
Kita dapat membagi Bhomantaka menadi dua bagian yang
jelas berbeda: kisah mengenai Samba dan Yajnawati, dan pelukisan tentang
peperangan antara Bhoma dengan Krsna. Mengenai kisah pertama, Teeuw, sambil
mengikuti suatu saran dari H. Kern, menunjuk pada sebuah cerita dalam
Dasakumaracarita, karangan Dandin; disana diceritakan, bagaimana pangeran Rajawahana
mengenal kembali kekasihnya yang dulu, putri Awantisundari.
Peperangan Krsna melawan Naraka yang berakhir dengan
kematian raja raksasa itu, merupakan sebuah adegan yang umum kita jumpai dalam
legenda-legenda tentang Krsna. Tetapi dalam penjabarannyan mengenai tema ini,
Bhomantaka jauh berbeda dari versi-versi India. Dalam versi India misalnya,
sebab langsung yang mengorbankan konflik itu ialah permintaan Indra agar Krsna
membantu merebut kembali subang Aditi atau menurut suatu versi lain ke-16.000 ribu
putri yang dicuri oleh naraka. Mengenai peristiwa ini tidak ada satu bekas pun
dalam versi jawa kuno.
Maka dari itu dapat disimpulkan, bahwa penelitian
terhadap sastra India tidak menampilkan bahan baru yang memberi keterangan,
apakah pengarang kakawin ini mungkin mempergunakan sumber-sumber India. Apa itu
Bhomakwaya yang dipakai oleh pengarang kakawin tidak diketahui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar