Sabtu, 13 Desember 2014

BHOMĀNTAKA (KEMATIAN BHOMA) ATAU BHOMAKĀWYA




1.      IKHTISAR BHOMĀNTAKA
Dalam buku Kalangwan, Bab Bhomāntaka, menceritakan tentang kematian Raja Bhoma. Nama asli Bhoma adalah Naraka, ia dilahirkan akibat senggama antara Dewi Bumi dengan Wisnu. Itulah sebabnya ia dinamakan Bhoma yang artinya Putra Bumi. Bhoma diberi kekuatan yang tak terkalahkan oleh Brahmā, dengan kekuatan tersebut ia gunakan untuk menyerang para dewa.
Para rsi memohon kepada Krsna agar segera membantu para pertapa di pegunungan Himalaya. Mereka sangat menderita akibat serangan yang dilakukan oleh gerombolan-gerombolan raksasa. Mendengar permohonan tersebut, Krsna terharu dan berjanji akan mengutus putranya sendiri, Samba. Dengan rasa puas para rsi kembali ke surga.
Dengan patihnya, Uddhawa, Krsna memperbincangkan tindakan-tindakan yang harus diambil, lalu memanggil Samba. Krsna tahu bahwa tugas yang diberikan kepada anaknya adalah berat, tapi ia yakin bahwa Samba tidak akan mengecewakan ayahnya dan Samba adalah sosok anak yang dapat dibanggakan. Tanpa membangkang Samba mengundurkan diri dari bangsal agung dan mohon diri pada ibunya, Jambawati. Semula sang ibu tidak menyetujuinya dan menyalahkan raja, tapi akhirnya ia menyerah kepada tekad putranya yang telah memutuskan untuk membuktikan bahwa ia sungguh seorang putra Krsna dan seorang ksatria sejati yang gagah perkasa.
Samba ditemani oleh Prawala sebagai pendampingnya yang paling setia dan pembawa kotak sirihnya, oleh Sahaja sebagai juru dyah (semacam kepala pelayan), dan sekitar lima puluh  prajurit. Kemudian mereka berangkat. Ketika mereka mendekati pegunungan Himalaya, seluruh daerah ternyata berantakan. Segera para raksasa muncul untuk menghancurkan para musuh di daerah yang mereka anggap sebagai wilayah mereka sendiri. Tetapi mereka berhasil dikalahkan oleh pasukan Samba dengan membunuh pemimpin mereka.
Atas undangan Ki Wiswamitra, seorang rajasti (seorang yang bijak berdarah ningrat) yang memimpin sebuah komunitas religius, Samba melepaskan lelah disana suatu hari Samba dengan seorang murid Wiswamitra yang bernama Gunadewa sampai pada sebuah pertapaan yang sejak lama tak dihuni dan tak terpelihara lagi. Sahabatnya menceritakan riwayat pertapaan itu yang didirikan oleh putra Wisnu, Dharmadewa yang tinggal disana bersama kekasihnya, Yajnawati. Sebelum Gunadewa selesai bercerita, tiba-tiba Samba pingsan karena terharu, tiba-tiba ia ingat pernah bernama Dharmadewa dalam kehidupannya dahulu dan bahwa ia mengikuti ayahnya Wisnu ketika ia turun ke Bumi dan menjelma dalam diri Krsna. Ia merasa sedih karena sadar betapa tindakannya telah menyakiti hati Yajnawati. Disana ia bertemu seorang perempuan yang ia kenal sebagai Dewawadhi (semacam bidadari) bernama Tilottama, teman Yajnawati dahulu. Tilottama menceritakan bahwa Yajnawati telah datang ke Bumi sebagai putri raja daerah utara (Uttanagara). Ayahnya dibunuh oleh Bhoma dan ibunya menyusul ke alam baka, kini Yajnawati dijadikan anak angkat oleh Raja Bhoma. Tilottama menawarkan jasa kepada Samba untuk mengantarnya bertemu dengan Yajnawati.
Setelah Samba bertemu dengan Yajnawati, datanglah Daruki membawa peringatan dari para rsi supaya segera memboyong sang putri dan jangan tinggal terlalu lama di wilayah para musuh. Tetapi terlambat. Para musuh telah mengetahui keberadaan Samba. Pada saat peperangan dimulai, Yajnawati diculik oleh para abdi Bhoma kemudian melarikannya ke kediaman raja, yaitu Prayagyotisa. Setelah peperangan selesai dengan kemenangan Samba ia mendengar bahwa putri telah diculik oleh para abdi Bhoma. Ketika Samba ingin mengejar sang putri, ia dicegat oleh Narada agar kembali ke Dwarati terlebih dahulu.
Setelah kepulangan Samba, Krsna merasa ada sesuatu yang salah pada diri anaknya. Kemudian ia memanggil Daruki untuk menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya dan kemudian mengadakan rapat, saat rapat dimulai datanglah Citraratha utusan dari kahyangan ingin meminta bantuan kepada Krisna bahwa kahyangan ingin diserang oleh Raja Bhoma. Krsna berjanji akan membantunya, dan di waktu yang sama Krsna menyusun siasat untuk menyerang Kerajaan Bhoma.
Tentara para Yadu disiapkan, para panglima ditunjuk, di antara mereka juga terdapat Samba, dan pada hari ketiga mereka berangkat. Ketika mereka sampai di kediaman Bhoma yang praktis kosong, tidak dijaga oleh pasukan-pasukan Bhoma. Yajnawati mengutus Puspawati, abdinya, membawa sepucuk surat untuk Samba. Para Yadu mulai menyerang. Rupanya tentara musuh masih cukup kuat untuk melangsungkan pertempuran seperti biasa. Pada akhirnya pasukan Samba berhasil mengalahkan pasukan Bhoma dan dapat memasuki kediaman Bhoma serta berhasil membawa pergi Yajnawati.
Dalam perjalanan pulang mereka melintasi negara Magnada, wilayah kekuasaan Raja Jarasandha, musuh utama Krsna. Oleh karena itu mereka harus berhati-hati, karena kelelahan akibat peperangan mereka bermalam disana. Kesempatan itu digunakan oleh Jarasanda untuk menyerang mereka. Samba dan Yajnawati melarikan diri dengan menaiki kereta. Akan tetapi tangan Samba terkena panah sehingga tidak dapat mengendalikan kereta tersebut, mereka terguling-guling dan keduanya jatuh  pingsan. Mereka ditolong oleh seorang petapa. Akhirnya Daruki menemukan tempat persembunyian mereka, dan menceritakan apa yang terjadi. Para Yadhu dapat mengalahkan Raja Jarasanda dan berhasil menangkap putranya. Mereka mohon diri kepada tuan rumah dan kembali ke Dwarawati.
Druma, Raja Kimpurusa, yang dikalahkan yang dikalahkan oleh Bhoma mencari perlindungan kepada Krsna. Krsna menyambutnya dengan segala kehormatan. Druma menceritakan apa yang terjadi. Ia diserang oleh anak Kalayawana yang pernah dibakar habis-habis oleh Mucukunda atas perintah Krsna. Karena anak Kalayawan itu mengalami perlawanan yang tak terduga dari Druma, ia mencari sekutu di antara para raja yang membantu Bhoma, yaitu: Jarasanda, raja Maghada, Sisupala, Raja Cedi, Karna dari Anggawa dan Saturntapa dari Kalingga. Tetapi di pihak lain raja-raja yang akan membantu Druma ialah Raja Bahlika, Raja Salya dari Mrada, Somadatta dan Rukma. Tetapi yang terutama yang menjadi buah harapan Raja Druma ialah Krsna, Raja Parayadu, Baladhewa dan Ugrasena. Mereka semua menjanjikan bantuan mereka.
Dengan segera persiapan-persiapan diadakan, tetapi untuk menyembunyikan rencana mereka terhadap musuh, mereka akan bertamasya dan membawa ikut serta para perempuan dan anak-anak. Selain itu juga diadakan pesta besar tujuh hari. Sesudah itu mereka semua pulang ke Dwarawati.
Bhoma membatalkan serangannya terhadap para dewa, ia maraah sekali karena keratonnya dihancurkan dan Yajnawati dilarikan. Raja Cedi mengusulkan agar mereka pada malam hari dengan tak terduga menyerang Dwarawati. Jarasanda menganjurkan supaya mereka berhati-hati. Semua rencana hendaknya dipikirkan dengan masak-masak dan dibicarakan terlebih dahulu. Bhoma mengutus Saturntapa bersama Mahodara, patihnya sendiri, akan menuju Dwarawati dan menuntut penyerahan tanpa syarat. Akan tetapi para utusan gagal menjalankan misi.
Bhoma meluapkan angkara murkanya ketika para duta melaporkan bahwa misi mereka gagal, lalu memerintahkan agar musuh dimusnahkan secara tuntas. Sambil merampas dan merampok, tentaranya menuju Dwarawati. Disana persiapan pertempuran telah diselesaikan. Wirada dan Drupada mengggabungkan diri dengan para Yadu dan membawa pasukan tambahan. Ketika itu para raja menyusun siasat saat penyerangan. Pada saat Krsna ingin pergi ke luar kota ia didekati olehseorang pertapa tua. Krsna memperlakukan pertapa tua itu dengan hormat, karena ia tahu bahwa jika pertapa itu akan cepat mengucapkan suatu kutukan jikalu ia merasa masygul. Maka dengan penuh hormat ia menyampaikan salam dan tidak memperlihankan keratin apapun. Ketika sang pertapa memohon agarkrsna dan kakaknya mempersiapkan makanan baginya karena ia ingin mengakhiri puasanya. Krsna memanggil Arjuna Rukma guna menyerahkan pimpinan kepada mereka, kemudian kembali ke keraton.
Ketika mereka sampai di gunung Rewataka nampaklah tentara musuh dan para Yadu menempati pola tempur yang dinamakan makara, bhoma merasa kecewa karena Krsna tidak menyertai para Yadu. Pertempuran dimulai; Bāhlikan melawan Hirananyabha, Drupada melawan Cedi, Somadatta melawan Karna dan Winda serta Anuwinda melawan putera Kālayawana. Dalam kalangwan ini penulis hanya melukiskan beberapa adegan saja. Suratha, putra Druma, dibunuh oleh Śiśupāla, raja Cedi yang pada gilirannya ditewaskan oleh raja Basudewa yang tua itu, tetapi kemudian Basudewa dan Druma bitewaskan oleh Karna; Karna dibunuh oleh Sāmba dan Jāasandha oleh Gada.
Ketika sebagian besar sekutu telah tewas, Bhoma memutuskan untuk mengambil bagian sendiri dalam pertempuran; bagi para Yadu akibatnya sungguh dahsyat. Rukma dibunuh oleh Mahodar, Sāmba oleh Bhoma. Pertempuran dahsyat antara antara para raja raksasa dan Arjuna; Bhoma terluka sedikit, tetapi luka Arjuna lebih parah lalu ia meninggal. Para Yadu putus asa, Krsna dan Baladewasegera menerima laporan. Kemudian Mahodara mencoba untuk menyergap mereka dengan pasukannya, tetapi ia di ditewaskan oleh Baladewa. Daruki memberitahukan kepada Krsna bahwa Bhoma telah bersumpah untuk membunuhnya dan bahwa ia menerima sekuntum bunga ajaib dari ibunya, sang Dewi Bumi, namanya Wijayamālā, dan bunga itu mempunyai kesaktian menghidupkan kembali orang yang membawanya bila ditewaskan dalam pertempuran. Sesampainya di perkemahan para Yadu, Krsna menangisi Arjuna. Durwasa menampakkan diridan embiran suatu anugrah kepada Krsna, ia boleh mengajukan permohonan, agar salah seorang dari mereka yang tewas , dihidupkan kembali. Krsna memilih Druma, karena dia telah mencari perlidungan padanya, kemudian Durwasa meramalkan bahwa ia akan menang.
Pertempuran berkorbar kembali dan mencapai puncaknya ketika Krsna dan Bhoma berhadap muka, akhirnya Krsna menampakkan diri sebagai Wisnu dalam wujud yang dahsyat. Berkepala seribudengan disertai burung garuda raksasa. Bhoma pun mengenakan sebuah bentuk yang adikrodati yang sama besarnya, kepala Bhoma dihantam oleh tiju Wisnu, sehingga mahkotanya jatuh. Kesempatan ini dipergunakan Garuda untuk menyambarWijayamālā dan terbang pergi. Kemudian kepala Bhoma dihancurkan oleh Wisnu.tubuhnya jatuh kedalam samudra, memasuki pratala dan disana jatuh kedalam pangkuan ibunya. Kemudian Wisnu kemabli mengenakan wujudnya sebagai Krsna. Sekali lagi Indra nampak untuk memberikan sebuah anugrah, Krsna mohon agar semua yang tewas dalam peperangan dihidupkan kembali, tidak hanya sanak saudaranya dan kaum kerabatnya, tetapi juga para musuhnya, kecuali Bhoma.
Dalam kapustakan jawa, cerita Bhomanta digolongkan kedalam mawi sekar. Disini , kisah Bhomantaka diceritakan secara singkat. Prabu Krsna kedatangan rsi Narada, untuk menyirnakan Danawa, sekutu dari Bhoma. Samba ditunjuk pergi bersama bala tentaranya. Ketika sampai di kaki gunung Himalaya, perang dimulai.
Pada suatu hari Samba serada di salahsatu tempat pertapaan yang sudah sepi dan rusak. Samba ingin mengetahui bagaimana ceritanya. Yang ditunggu yaitu Putut Gunadewa, murid dari bagawan Wiswamitra. Gunadewa menceritakan bahwa tempat tersebut adalah bekas tempat pertapaan  Dharmadewa, putra dari batara Wisnu. Setelah kematian Dharmadewa, istrinya yang bernama Yajnawati melanjutkan bertapa di tempat tersebut, tetapi tidak lama kemudian Yajnawati mati memasukkan diri ke dalam api. Kemudian, Samba teringat bahwa Dharmadewa pada waktu dahulu adalah dirinya sendiri, kemudian ia merasa rindu kepada Yajnawati. Waktu samba terdiam mengingat peristiwa tersebut, datanglah seorang bidadari bernama Tilottama menceritakan bahwa Yajnawati sudah kemabali ke bumi menjadi putri raja di  Utara-nagara, dengan nama Yajnawati. Namun, ayah dan ibunya sudah meninggal, berawal dari ratu Danawa, nama sang Bhoma, sang putri kemudian diangkat anak oleh Bhoma.
Samba kemudian diantar oleh Tilottama bertemu dengan Yajnawati. Samba bertemu dengan sang putri di kedaton. Kemudian mereka ketahuan, dan mulailah perang, dalam hiruk pikuk peperangan sang putri dibawa oleh Bhoma ke keraton yang satunya lagi yaitu prajotisa.
Samba kembali ke kerajaan dengan kehilangan sang putri, kemudian terdiam lagi, tidak lama sangNarada datang, sang Samba disuruh untuk pulang ke Dwarawati.
Samba pulang, sakit. Prabu krsna melihat, menerima laporan sakitnya sang putra, tenang saja. Tidak lama kemudian, ada dewa yang datang umtuk meminta bantuan sebab prabu Bhoma sudah mendekat ingin menyerang kahyangan. Prabu Kresna ikut dalam perang, Sang Bhoma meninggal, raganya jatuh ke laut, Samba kemudian bisa bertemu dengan Yajnawati.
Serat Bhomantaka pada tahun 1852 di ceritakan ke dalam tulisan jawa oleh DR FRIEDERICH. Sisanya di tulis ke dalam bahasa Belanda  yang di buat oleh DR TEEUW; Proefschrift 1946.
2.      HUBUNGANNYA DENGAN SASTRA INDIA
      Dengan 1492 baitnya Bhomantaka merupakan kakawin Jawa Timur yang terpanjang. Kita tidak tahu bilamana kakawin ini ditulis oleh siapa. Kata pengantar merupakan pujian terhadap dewa Manobhu, yaitu Kama yang menampakkan diri dalam segala bentuk yang indah dan tercipta untuk merangsan para penyair. Sekaligus ia merupakan Anangga, tanpa raga, didalm dunia yang kelihatan ini.   Pada buku kapusatakan jawa juga diterangkan bahwa tidak diketahui siapa yang membuat serat Bhomantaka tidak jelas. Tetapi pada pembukaan berisi puji-pujian terhadap batara Kamajaya seperti serat Smaradhana. Menurut DR VAN DER TUUK yang memiliki pengertian mengenai kedua serat tersebut, bahwa serat Bhomantaka berbeda dengan serat Smaradana. Bab berisi bahasa dan kikidungan.
Menurut consensus umum, karya ini di golongkan pada karya-karya jaman Kediri. Pendapat ini didasarkan pada pertimbangan mengenai bahasa, gaya dan cara temanya digarap. Pertimbangan-pertimbangan ini, bila dipandang sendiri-sendiri, tidak begitu meyakinkan, tetapi bersama-sama pertimbangan itu merupakan alasanyang cukup kuat, untuk mengesampingkan setiap peride lain.
Dalam Hariwangsa dikatakan (52.4) mengenai Samba bahwa ia “ menyebabkan kematian Bhoma oleh tangan Kresna dalam kisah Yajnawati yang terkenal itu”. Dengan demikian akhir pemerintah Jayabhaya dapat dipandang sebagai terminus ante quem (patokan sebelum itu terjadi) dan dengan demikian Bhomantaka, bersama dengan Arjunawiwaha, pada urutan pertama dalam daftar kronologis sastra kakawin Jawa Timu, asal kita merasa pasti, bahwa dengan “kisah Yajnawati yang terkenal itu” kakawin kita inilah yang dimasukkan kedalamnya. Cerita tersebut juga sudah dikenal oleh umum sebelum ditulis dalam bentuk khas sebagai sebuah kakawin, “cerita Yajnawati” tidak dengan sendirinya sama dengan kakawin “Bhomantaka”. Pertempuran melawan Bhoma juga disebut dalam Sutasoma (jaman majapahit)
Teks kakawin sendiri tidak menyebut judulnya. Dalam kolofon (catatan penutup) berbagai naskah, kakawin ini dinamakan Bhomantaka (kematian Bhoma) dan dengan judul ini kakawin tersebut dikenal dalam tradisi Jawa dan Bali. Maka dari itu masuk akal, bahwa inilah cerita asli, bukannya Bhomakwaya akan tetapi dalam kapustakan jawa sering menyebutkan istilah Bhomantaka dengan Bhomakwaya.
 Serat Bhomantaka pada tahun 1852 di ceritakan ke dalam tulisan jawa oleh DR FRIEDERICH. Sisanya di tulis ke dalam bahasa Belanda  yang di buat oleh DR TEEUW; Proefschrift 1946. Pada edisi R. Frederich banyak dipakai oleh sarjana-sarjana Barat. Kebiasaan ini rupanya disebabkan, karena ia tidak dapat menerjemahkan suatu bagian dalam kata pengantar: disana disebutkan mengenai adanya sebuah adaptasi cerita Bhomakawya dalam puisi jawa. Jelaslah disini pengarang menunjukan sumber kisahnya. Istilah kawya menyarankan kemungkinan pertama. Tak ada bukti, bahwa istilah ini yang jarang dipakai kedalam bahasa jawa kuno, pernah digunakan selain daripada menurut arti teknisnya.
Seperti pernah diterangkan Teeuw dalam kata pengantar bagi terjemahan mengenai kakawin ini, bagi mereka yang meneliti hubungan kakawin ini dengan sumber-sumbr India, persoalan-persolan yang belum dipecahkan cukup banyak jumlahnya.
Kita dapat membagi Bhomantaka menadi dua bagian yang jelas berbeda: kisah mengenai Samba dan Yajnawati, dan pelukisan tentang peperangan antara Bhoma dengan Krsna. Mengenai kisah pertama, Teeuw, sambil mengikuti suatu saran dari H. Kern, menunjuk pada sebuah cerita dalam Dasakumaracarita, karangan Dandin; disana diceritakan, bagaimana pangeran Rajawahana mengenal kembali kekasihnya yang dulu, putri Awantisundari.
Peperangan Krsna melawan Naraka yang berakhir dengan kematian raja raksasa itu, merupakan sebuah adegan yang umum kita jumpai dalam legenda-legenda tentang Krsna. Tetapi dalam penjabarannyan mengenai tema ini, Bhomantaka jauh berbeda dari versi-versi India. Dalam versi India misalnya, sebab langsung yang mengorbankan konflik itu ialah permintaan Indra agar Krsna membantu merebut kembali subang Aditi atau menurut suatu versi lain ke-16.000 ribu putri yang dicuri oleh naraka. Mengenai peristiwa ini tidak ada satu bekas pun dalam versi jawa kuno.
Maka dari itu dapat disimpulkan, bahwa penelitian terhadap sastra India tidak menampilkan bahan baru yang memberi keterangan, apakah pengarang kakawin ini mungkin mempergunakan sumber-sumber India. Apa itu Bhomakwaya yang dipakai oleh pengarang kakawin tidak diketahui.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar