Minggu, 28 Desember 2014

Cinta ditolak, jadi homo?




Pementasan ketoprak yang dilaksanakan dua hari secara berturut-turut kemarin (17-18 Desember 2014) yang bertemakan “Ketoprak Gaul” ini diselenggarakan oleh mahasiswa jurusan bahasa dan sastra jawa angkatan 2012 guna melengkapi ujian akhir semester matakuliah kajian drama tradisional yang diampu oleh Bapak Sucipto Hadi Purnomo ini terselenggara dengan begitu ramai dengan banyaknya penonton yang menghadiri pementasan tersebut.
Gedung B6 yang digunakan sebagai tempat pementasan dipenuhi oleh para mahasiswa ya g ingin melihat pementasan ketoprak tersebut. Pengunjung tidak hanya dari mahasiswa fakultas bahasa dan seni saja terkhusus jurusan bahasa dan sastra jawa itu sendiri melainkan mahasiswa dari fakultas lainpun menonton pementasan ketoprak tersebut. Itu terlihat dari banyaknya penonton dan presensi penonton.
Dalam pemetasan ketoprak gaul ini ada enam lakon pementasan. pada hari pertama pementasan ada tiga lakon ketoprak yang akan dipentaskan. Yang pertama dengan lakon Hardaning Asmara yang mengisahkan tentang kisah cinta raden Inu Kertapati dengan Candra  Kirana. Lakon yang kedua yaitu, Jangkeping Katresnan yang mengisahkan tentang asal mula candi prambanan atau juga yang terkenal dengan candi Roro Jonggrang. dan yang terakhir yaitu dengan lakon Tampik yang mengisahkan tentang lahirnya Reog Ponorogo. Pada hari kedua pementasan, yaitu dengan lakon Ronda Gairah yang mengisahkan tentang Calon Arang, lakon kedua yaitu Sritanjung, gondho Arum kasetyan, kisah kesetiaan cinta Sritanjung terhadap Patih Sido Pekso dan yang terakhir adalah lakon Brubuh Wanabaya.
Tampik
Tampik adalah lakon yang dipentaskan oleh kelompok ketoprak Kluwung Suwung rombel satu, yang di sutradarai oleh mbak Indri. Mereka bermain di atas panggung gedung B6 menjadi pementas terakhir pada hari pertama pertunjukan.
Lakon Tampik berkisah tentang seorang putri dari Kediri yang bernama Dewi Sanggalangit putra Raja Kertajaya yang belum ingin menikah. Pada suatu hari, Dewi Sanggalangit ditanya olenh kedua orang tuanya mengenai kapan ia akan menikah. Dewi sanggalangit menjawab ia akan menikah jika persyaratannya terpenuhi, yaitu berupa prajurit atau nayaka penunggang kuda yang berjumlah 140, kesenian baru yang belum pernah dipentaskan dengan iringan gamelan, dan yang terakhir yaitu hewan berkepala dua yang masih hidup. Kemudian Raja Kertajaya mengumumkan sayembara tersebut.
Singkat cerita, raden Kelono Sewandono yang dahulu pernah melamar Dewi Sanggalangit  akan tetapi ditolak, kini ia berhasil memenuhi semua syarat yang diajukan oleh Dewi Sanggalangit sebagai syarat menjadi suaminya. Kelono Sewandono pergi ke Kedhiri untuk menyerahkan semua persyaratan tersebut. Namun apa yang terjadi, Kelono Sewandono ditolak oleh Dewi Sanggalangit untuk yang kedua kalinya. Kelono Sewandono marah dan mengobrak-abrik Kedhiri karena penolakan tersebut.
Pemilihan judul atau lakon tampik jika dalam bahasa Indonesia memiliki arti penolakan cinta ini akan ramai dengan adegan kisah cinta, perang maupun dagelannya.
Kelompok ketoprak Kluwung Suwung ini  mengemas pementasannya dengan begitu apik dan menarik. pada gebrakan pertama, saat narator membacakan sinopsis cerita, dipanggung yang bersettingkan kerajaan Kedhiri berdiri Kelono Sewandono lengkap dengan topeng dan pecutnya, serta reog dan dan patihnya dengan menggunakan topengnya berdiri bersebelahan. Pembacaan sinopsis yang di iringi dengan tabuhan gamelan dan adegan pembuka dengan tatanan cahaya lampu yang menarik ini, membuat perhatian semua penonton hanya tertuju pada panggung.
Adegan sesungguhnya dimulai setelah sinopsis selesai dibacakan dan adegan pertama dimulai dengan tari gambyong yang ditarikan oleh Dewi Sanggalangit dan kedua embannya. Kemudian datanglah Raja Kertajaya bersama istrinya menemui Dewi Sanggalangit, dan tarian itupun selesai. Kemudian Raja Kertajaya bertanya kepada anaknya perihal keinginan anaknya untuk menikah. Dewi Sanggalangit ingin menikah akan tetapi calon suaminya harus memenuhi syarat yang ia peroleh dari pertapaannya kepada Batara Narada selama 38 hari, yaitu berupa prajurit atau nayaka penunggang kuda yang berjumlah 140, kesenian baru yang belum pernah dipentaskan dengan iringan gamelan, dan yang terakhir yaitu hewan berkepala dua yang masih hidup. Kemudian Raja Kertajaya mengumumkan sayembara tersebut.
Adegan kedua berlanjut pada setting  Kedhatonan Bantarangin. Disitu, Bujang Kanong datang secara tiba-tiba dan marah terhadap para warok (yang diperankan oleh parempuan) yang kerjaanya hanya bermain kartu. Pada saat adegan ini Bujang Kanong berkata, E, e e, ngene iki ya pegaweyane wong-wong sing disembadani uripe karo negara? Bubar! Bubar! Padha ora ngerti gaweyan. Yen nyambut gawe wayah jam dhines ki ya sing tenanan.­(E,e,e, begini tho, pekerjaannya orang-orang yang dibiayai oleh negara? Bubar! Bubar! Tidak tahu pekerjaan. Saat bekerja dijam dinas ya yang beneran.) Jika diperhatikan, kata- kta tersebut merupakan sindiran bagi para pejabat dan para pegawai yang bermalas-malasan. Pekerjaannya hanyalah bersenang-senang saja, tidak mau menjalankan kewajibannya. Kemudian mereka membicarakan rajanya, Kelono Sewandono mengenai prilakunya yang menyimpang, suka terhadap sesama jenis. Kelono Sewandono datang, dan merayu Bujang Ganong. Pada saat adegan ini, biasaanya disebut adegan gandrung atau percintaan. Saat adegan ini semua penonton tertawa dan merasa geli. Karena pada lazimnya adegan gandrung dilakukan seorang priya dan perempuan. Namun pala lakon tampik ini adegan gandrung diadegankan oleh Kelono Swandono dan Bujang Kanong yang sama- sama lelaki. Adegan gandrung ini membuat semua penonton berteriak geli, apalagi saat adegan ciuman atau seperti berciuman, semua penonton bersorak – sorai. Ini dikarenakan Kelono Sewandono memiliki kepribadian menyukai sesama jenis atau sekarang ini biasanya disebut homo.
            Pada adegan selanjutnya Bujang Kanong merayu Kelono Sewandono untuk mengikuti sayembara yang diadakan oleh Dewi Sanggalangit. Pada saat merayu, Bujang Kanong bertingkah seperti rajanya ketika ia berada di belakang rajanya membuat gelak tawa penonton menyeruai. Akhirnya, Kelono Sewandono menjyetujui Bujang Kanong dan ia menyuruh patihnya, Bujang Kanong untuk mencari semua persyaratan sayembara tersebut.
            Di kediri Raja Kertaja meminta bantuan terhadap Singgo Barong untuk menggagalkan Kelono Sewandono.
            Adegan selanjutnya yaitu adegan guyon atau dagelan. Adegan ini begitu ditunggu-tunggu oleh para penonton. Adegan ini memang biasanya berbau saru,  tetapi itulah yang membuat gelak tawa penonton. Seperti saat Singo barong memimpin do’a yang diplesetkan.
            Adegan yang sesungguhnya kemudian dilanjutkan kembali saat Singo Barong ke Bantarangin menantang Kelono Sewandono. Di sini adegan perang dikemas dengan guyonan. Ada adegan perang yang diperlambat yang seaakan – akan gerakannya begitu lambat. Kemudian dilanjutkan lagi dengan adegan serius. Ini diadakan supaya penonton tidak terlalu sepaneng dalam menonton.
            Saat perang tanding ini Singo Barong kalah dan memanggil temannya burung merak. Saat merak dan singo barong dipecut, mereka berubah menjadi hewan berkepala dua dengan disertai kumpul asap yang pekat.
Kemudian hewan berkepala dua tersebut jinak terhadap Kelono Sewandono dan diberinama Reog.
            Kelono Sewandono pergi ke Kediri dengan membawa semua persyaratan yang diajukan oleh Dewi Sanggalangit. Tetapi apa yang terjadi? Dewi Sanggalangit menghianati ucapannya dan menampik Kelono Sewandono sebagai suaminya. Dewi Sanggalangit lari kedalam kedaton dan Kelono Sewandono kemudian marah dan menghancurkan Kediri. Penghancuran Kediri digambarkan dengan warok dan jatilan yang menari semaunya sendiri.
            Pertunjukan ketoprak dengan lakon Tampik ini dibuka dan ditutup begitu mengesankan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar