Pementasan
ketoprak yang dilaksanakan dua hari secara berturut-turut kemarin (17-18
Desember 2014) yang bertemakan “Ketoprak Gaul” ini diselenggarakan oleh
mahasiswa jurusan bahasa dan sastra jawa angkatan 2012 guna melengkapi ujian
akhir semester matakuliah kajian drama tradisional yang diampu oleh Bapak
Sucipto Hadi Purnomo ini terselenggara dengan begitu ramai dengan banyaknya
penonton yang menghadiri pementasan tersebut.
Gedung
B6 yang digunakan sebagai tempat pementasan dipenuhi oleh para mahasiswa ya g
ingin melihat pementasan ketoprak tersebut. Pengunjung tidak hanya dari
mahasiswa fakultas bahasa dan seni saja terkhusus jurusan bahasa dan sastra
jawa itu sendiri melainkan mahasiswa dari fakultas lainpun menonton pementasan ketoprak
tersebut. Itu terlihat dari banyaknya penonton dan presensi penonton.
Dalam
pemetasan ketoprak gaul ini ada enam lakon pementasan. pada hari pertama
pementasan ada tiga lakon ketoprak yang akan dipentaskan. Yang pertama dengan
lakon Hardaning Asmara yang
mengisahkan tentang kisah cinta raden Inu Kertapati dengan Candra Kirana. Lakon yang kedua yaitu, Jangkeping Katresnan yang mengisahkan
tentang asal mula candi prambanan atau juga yang terkenal dengan candi Roro
Jonggrang. dan yang terakhir yaitu dengan lakon Tampik yang mengisahkan tentang lahirnya Reog Ponorogo. Pada hari
kedua pementasan, yaitu dengan lakon Ronda
Gairah yang mengisahkan tentang Calon Arang, lakon kedua yaitu Sritanjung, gondho Arum kasetyan, kisah
kesetiaan cinta Sritanjung terhadap Patih Sido Pekso dan yang terakhir adalah
lakon Brubuh Wanabaya.
Tampik
Tampik adalah
lakon yang dipentaskan oleh kelompok ketoprak Kluwung Suwung rombel satu, yang
di sutradarai oleh mbak Indri. Mereka bermain di atas panggung gedung B6 menjadi
pementas terakhir pada hari pertama pertunjukan.
Lakon
Tampik berkisah tentang seorang putri dari Kediri yang bernama Dewi Sanggalangit
putra Raja Kertajaya yang belum ingin menikah. Pada suatu hari, Dewi
Sanggalangit ditanya olenh kedua orang tuanya mengenai kapan ia akan menikah.
Dewi sanggalangit menjawab ia akan menikah jika persyaratannya terpenuhi, yaitu
berupa prajurit atau nayaka penunggang
kuda yang berjumlah 140, kesenian baru yang belum pernah dipentaskan dengan
iringan gamelan, dan yang terakhir yaitu hewan berkepala dua yang masih hidup.
Kemudian Raja Kertajaya mengumumkan sayembara tersebut.
Singkat
cerita, raden Kelono Sewandono yang dahulu pernah melamar Dewi
Sanggalangit akan tetapi ditolak, kini
ia berhasil memenuhi semua syarat yang diajukan oleh Dewi Sanggalangit sebagai
syarat menjadi suaminya. Kelono Sewandono pergi ke Kedhiri untuk menyerahkan
semua persyaratan tersebut. Namun apa yang terjadi, Kelono Sewandono ditolak
oleh Dewi Sanggalangit untuk yang kedua kalinya. Kelono Sewandono marah dan
mengobrak-abrik Kedhiri karena penolakan tersebut.
Pemilihan
judul atau lakon tampik jika dalam
bahasa Indonesia memiliki arti penolakan cinta ini akan ramai dengan adegan
kisah cinta, perang maupun dagelannya.
Kelompok
ketoprak Kluwung Suwung ini mengemas
pementasannya dengan begitu apik dan menarik. pada gebrakan pertama, saat
narator membacakan sinopsis cerita, dipanggung yang bersettingkan kerajaan
Kedhiri berdiri Kelono Sewandono lengkap dengan topeng dan pecutnya, serta reog
dan dan patihnya dengan menggunakan topengnya berdiri bersebelahan. Pembacaan
sinopsis yang di iringi dengan tabuhan gamelan dan adegan pembuka dengan
tatanan cahaya lampu yang menarik ini, membuat perhatian semua penonton hanya
tertuju pada panggung.

Adegan
sesungguhnya dimulai setelah sinopsis selesai dibacakan dan adegan pertama
dimulai dengan tari gambyong yang ditarikan oleh Dewi Sanggalangit dan kedua
embannya. Kemudian datanglah Raja Kertajaya bersama istrinya menemui Dewi
Sanggalangit, dan tarian itupun selesai. Kemudian Raja Kertajaya bertanya
kepada anaknya perihal keinginan anaknya untuk menikah. Dewi Sanggalangit ingin
menikah akan tetapi calon suaminya harus memenuhi syarat yang ia peroleh dari
pertapaannya kepada Batara Narada selama 38 hari, yaitu berupa prajurit atau nayaka penunggang kuda yang berjumlah
140, kesenian baru yang belum pernah dipentaskan dengan iringan gamelan, dan
yang terakhir yaitu hewan berkepala dua yang masih hidup. Kemudian Raja
Kertajaya mengumumkan sayembara tersebut.
Adegan
kedua berlanjut pada setting Kedhatonan
Bantarangin. Disitu, Bujang Kanong datang secara tiba-tiba dan marah terhadap
para warok (yang diperankan oleh parempuan) yang kerjaanya hanya bermain kartu.
Pada saat adegan ini Bujang Kanong berkata,
E, e e, ngene iki ya pegaweyane wong-wong sing disembadani uripe karo negara? Bubar! Bubar! Padha ora ngerti gaweyan. Yen nyambut
gawe wayah jam dhines ki ya
sing tenanan.(E,e,e,
begini tho, pekerjaannya orang-orang yang dibiayai oleh negara? Bubar! Bubar!
Tidak tahu pekerjaan. Saat bekerja dijam dinas ya yang beneran.) Jika
diperhatikan, kata- kta tersebut merupakan sindiran bagi para pejabat dan para
pegawai yang bermalas-malasan. Pekerjaannya hanyalah bersenang-senang saja,
tidak mau menjalankan kewajibannya. Kemudian mereka membicarakan rajanya,
Kelono Sewandono mengenai prilakunya yang menyimpang, suka terhadap sesama
jenis. Kelono Sewandono datang, dan merayu Bujang Ganong. Pada saat adegan ini,
biasaanya disebut adegan gandrung atau percintaan. Saat adegan ini semua
penonton tertawa dan merasa geli. Karena pada lazimnya adegan gandrung dilakukan
seorang priya dan perempuan. Namun pala lakon tampik ini adegan gandrung
diadegankan oleh Kelono Swandono dan Bujang Kanong yang sama- sama lelaki.
Adegan gandrung ini membuat semua penonton berteriak geli, apalagi saat adegan
ciuman atau seperti berciuman, semua penonton bersorak – sorai. Ini dikarenakan
Kelono Sewandono memiliki kepribadian menyukai sesama jenis atau sekarang ini
biasanya disebut homo.

Pada adegan selanjutnya Bujang
Kanong merayu Kelono Sewandono untuk mengikuti sayembara yang diadakan oleh
Dewi Sanggalangit. Pada saat merayu, Bujang Kanong bertingkah seperti rajanya
ketika ia berada di belakang rajanya membuat gelak tawa penonton menyeruai.
Akhirnya, Kelono Sewandono menjyetujui Bujang Kanong dan ia menyuruh patihnya,
Bujang Kanong untuk mencari semua persyaratan sayembara tersebut.
Di kediri Raja Kertaja meminta
bantuan terhadap Singgo Barong untuk menggagalkan Kelono Sewandono.
Adegan selanjutnya yaitu adegan
guyon atau dagelan. Adegan ini begitu ditunggu-tunggu oleh para penonton.
Adegan ini memang biasanya berbau saru, tetapi itulah yang membuat gelak tawa
penonton. Seperti saat Singo barong memimpin do’a yang diplesetkan.
Adegan yang sesungguhnya kemudian
dilanjutkan kembali saat Singo Barong ke Bantarangin menantang Kelono
Sewandono. Di sini adegan perang dikemas dengan guyonan. Ada adegan perang yang
diperlambat yang seaakan – akan gerakannya begitu lambat. Kemudian dilanjutkan
lagi dengan adegan serius. Ini diadakan supaya penonton tidak terlalu sepaneng
dalam menonton.
Saat perang tanding ini Singo Barong
kalah dan memanggil temannya burung merak. Saat merak dan singo barong dipecut,
mereka berubah menjadi hewan berkepala dua dengan disertai kumpul asap yang
pekat.

Kemudian hewan
berkepala dua tersebut jinak terhadap Kelono Sewandono dan diberinama Reog.
Kelono Sewandono pergi ke Kediri
dengan membawa semua persyaratan yang diajukan oleh Dewi Sanggalangit. Tetapi
apa yang terjadi? Dewi Sanggalangit menghianati ucapannya dan menampik Kelono
Sewandono sebagai suaminya. Dewi Sanggalangit lari kedalam kedaton dan Kelono
Sewandono kemudian marah dan menghancurkan Kediri. Penghancuran Kediri digambarkan
dengan warok dan jatilan yang menari semaunya sendiri.

Pertunjukan ketoprak dengan lakon
Tampik ini dibuka dan ditutup begitu mengesankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar